Jumat, 30 November 2007

DEMO REOG DI KEDUBES MALAYSIA

Malaysia Akui Reog Milik Indonesia


DEMO REOG: Ribuan seniman yang tergabung dalam Paguyuban Reog Indonesia berunjuk rasa di Kedubes Malaysia, Kuningan, Jakarta, Kamis (29/11). Aksi itu untuk memprotes pemerintah Malaysia yang mengklaim reog sebagai milik negara itu dengan nama barongan. (57)


JAKARTA- Pemerintah Malaysia melalui Duta Besar untuk Indonesia, Zainal Abidin Mohammad Zin, akhirnya mengakui bahwa reog Ponorogo adalah kesenian asli Indonesia. Pengakuan tersebut diungkapkannya saat menemui sekitar seribu pendemo dari beberapa kelompok reog di depan kantor Kedubes Malaysia, Jalan Rasuna Said, Jakarta.

Menurut Zainal, kesenian reog telah disebarkan di daerah Johor dan Selangor Malaysia oleh masyarakat Ponorogo yang bertahun-tahun tinggal di sana. Di negeri Jiran itu reog disebut sebagai tarian Barongan.

''Saya ingin menjelaskan, sekitar 150 tahun lalu, rakyat dari sini (Indonesia) hijrah ke Malaysia dengan membawa kebudayaannya dan kebudayaan itu dipraktikkan sampai saat ini. Kerajaan Malaysia tidak pernah mengklaim reog orisinil dari Malaysia. Reog tetap milik Indonesia,'' ujar Zainal melalui pengeras suara di atas mobil milik pendemo, Kamis (29/11).

Kontan saja, pengakuan tersebut disambut gegap gembita para pendemo. Dengan lantang mereka mengatakan reog adalah milik bangsa Indonesia. ''Reog Ponorogo Milik Indonesia,'' ujar mereka bersahutan.

Sebelum keluar untuk menyampaikan klarifikasi mengenai asal reog, Zainal menerima tiga perwakilan pendemo yang diketuai oleh Bupati Wonogiri, Begug Purnomosidi. Menurut Begug, yang juga Ketua Paguyuban Reog Indonesia itu, dia melalui Zainal menyampaikan surat kepada pemerintah Malaysia di Kuala Lumpur untuk mengklarifikasi klaim Malaysia terhadap reog.

Diwarnai Atraksi

Demo itu sendiri tidak seperti kebanyakan demo lainnya, karena dibumbui dengan berbagai atraksi reog. Dengan sekitar lima puluh penari reog dan atribut lengkap, mereka menari-nari di sepanjang perjalanan menuju Kedubes Malaysia. Tidak hanya itu, terdapat juga delapan penari kuda lumping, sedangkan ribuan pendemo lainnya berperan sebagai warok yang berpakaian hitam-hitam. Musik gamelan khas reog tidak lupa mengiringi aksi tersebut.

Sesampainya di depan Kedubes Malaysia, aksi kelimapuluh penari reog dan kuda lumping terus menari secara bergantian. Aksi tersebut, memantik kepenasaran pengguna jalan untuk melihat dan mungkin menikmati atraksi, dengan melambatkan kendaraan yang dikendarai. Akibatnya, kemacetan panjang pun terjadi.

Namun demo tetaplah demo, sehingga selain mengeluarkan kebolehannya, mereka tidak lupa membawa beberapa spanduk. ''Mbok Yo Ora Neko-Neko To Le Le'', ''Kok Semua Mau Dipek'', ''Parade Keprihatinan Seni Reog Indonesia'', ''Mau Belajar Seni Reog? Belajarlah ke Indonesia. Ponorogo Siap Beri Pelajaran'', adalah sebagian tulisan yang ada dalam spanduk.

Pendemo berasal dari beberapa kelompok reog dari beberapa kota seperti Jakarta, Tangerang, Wonogiri, dan Ponorogo sendiri. Kelompok reog itu di antaranya Singo Budoyo Mudo, Singo Barong, Singo Anggoro. Mereka bahkan memberikan tajuk untuk demo tersebut, yaitu ''Gelar Keprihatinan Budaya'.

Begug mengatakan, gelaran aksi dengan tajuk demikian sebagai bentuk keprihatinan karena kesenian reog Ponorogo dijiplak oleh Malaysia. ''Saya merasa prihatin atas pengakuan, pernyataan, dan publikasi Pemerintah Malaysia terhadap kesenian Reog Ponorogo. Selain itu, saya menghimbau kepada seluruh rakyat Indonesia agar merawat kesenian tradisional dari plagiator, karena itu merupakan aset dan potensi,'' katanya.

Aksi yang dimulai sekitar pukul 09.30 baru berhenti pukul 11.15, setelah Zaenal mengakui bahwa reog Ponorogo asli dari Indonesia. (J21-48)


Kamis, 29 November 2007

Ujian Nasional SMK Tidak ada Perubahan

JIKA Ujian Nasional (Unas) Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) ditambah tiga mata pelajaran, namun tidak demikian dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Menurut, Kepala Bidang Pendidikan Menengah Umum (Dikmenum), Wahab Syahrani, jika mengacu pada Peraturan Menteri (Permen) Diknas Nomor 33 tahun 2007, disebutkan penambahan mata pelajaran hanya untuk SMA/MA, tidak untuk SMK.

"Dalam Permen tersebut memang disebutkan bahwa Ujian Nasional 2007/2008 dari tiga mata pelajaran, akan ditambah menjadi tiga mata pelajaran. Meskipun, belum ada buku panduan tetapi kita mengacu pada Permendiknas ini," ungkap Wahab, saat ditemui di ruangannya.

Menurut Wahab, tiga mata pelajaran (mapel) yang ditambahkan hanya untuk SMP/MTs dan SMA/MA, tidak untuk SMK. Untuk SMP hanya ditambah pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), selain Bahasa Indonesia, Matematika dan Bahasa Inggris. Sementara untuk SMA, khusus Jurusan IPA ditambah tiga mata pelajaran yaitu Fisika, Kimia dan Biologi. Sedangkan untuk IPS ditambah pelajaran Ekonomi, Sosiologi dan Geografi dan untuk Jurusan Bahasa ditambah pelajaran Bahasa Asing, Antropologi dan Sastra Indonesia.

Sementara itu, untuk SMK tidak ada perubahan tetap 3 mata pelajaran yaitu Bahasa Indonesia, Matematika dan Bahasa Inggris. "Selain itu, mata pelajaran kompetensi keahlian atau jurusan juga tetap dalam penilaian Ujian Nasional. Untuk kompetensi minimal harus mendapat nilai 7,00. Nilai kompetensi ini akan digunakan untuk menghitung rata-rata Unas," jelas Wahab.

Wahab memang tidak merinci, tentang hitungan nilai rata-rata Unas. Karena hingga saat ini, pihaknya belum mendapat panduan resmi tentang prosedur pelaksanaan Unas dari Depdiknas.

"Sampai sekarang kita memang belum mendapat panduan, tetapi sementara ini kita mengacu pada Permendiknas No 33 yang sudah bisa dilihat di internet," tambah Wahab

Pentingnya Mindset Dalam Mengejar Beasiswa


Mindset: A fixed mental attitude or disposition that predetermines a person’s responses to and interpretations of situations. Answers.com

Perburuan saya mencari beasiswa dimulai setelah saya bekerja di sebuah perusahaan tambang asing di timur Indonesia. Saya ingat beasiswa pertama yang saya coba adalah beasiswa dari Australia, yaitu The Australian Development Program. Hanya bermodal keinginan kuat dan kepercayaan diri yang terlalu tinggi, saya mengirimkan lamaran saya tanpa dilengkapi beberapa dokumen yang diperlukan. Itu pengalaman pertama saya, dan hasilnya bisa diramalkan: gagal.

Percobaan kedua, beasiswa Chevening Award dari negara Inggris yang menjadi sasaran saya. Seingat saya, salah satu persyaratan beasiswa ini adalah menulis esai. Dokumen dokumen yang diperlukan sudah saya peroleh. Tetapi untuk urusan esai, wah, saya benar-benar cuek. Esainya saya tulis seadanya tanpa memperdulikan isi tulisan, struktur, dan lain-lain. Hasilnya lagi-lagi bisa diramalkan: gagal deuy!

Yang ketiga dan, syukurlah, yang terakhir saya mencoba beasiswa Fulbright dari negara Amerika Serikat. Untuk yang terakhir ini, persiapan saya jauh lebih matang. Pertama, selama sebulan penuh saya belajar mengerjakan soal-soal ujian TOEFL. (In case kamu bertanya, saya menggunakan buku terbitan Barron’s). Teman-teman yang mengunjungi rumah tempat saya tinggal bisa melihat bagaimana setiap malam saya sibuk berkutat dengan buku tersebut. Saya membuat target untuk menyelesaikan sepuluh soal setiap malamnya. Bukan hanya saya kerjakan sambil lalu, tapi saya pastikan setiap kali saya mempunyai masalah, saya mendapatkan penjelasan yang baik.

Kedua, sekali ini, saya bela-belain bolak-balik Jakarta Bandung hanya untuk mendapatkan surat rekomendasi dari dua orang dosen yang cukup saya kenal. Benar, yang diminta hanya satu surat rekomendasi. Tapi kali ini, saya tidak mau membuat kesalahan. Saya pastikan saya mendapatkan surat rekomendasi dari kedua dosen saya tersebut.

Ketiga, saya benar-benar belajar untuk menulis esai. Saya luangkan waktu saya beberapa jam di Internet hanya untuk mencari contoh-contoh esai yang baik. Selain dari pelatihan menulis laporan yang saya terima di tempat saya bekerja, saya tidak punya pengalaman lain dalam menulis. Karena itu, saya berusaha mencari informasi sebanyak-banyaknya. Berkali-kali saya meminjam buku-buku di perpustakaan yang saya pikir bisa memberikan pencerahan buat saya dalam menulis esai. Majalah-majalah asing, seperti Time, Newsweek, dan Fortune, saya “lahap” hanya untuk mengerti bagaimana sebuah tulisan menjadi menarik untuk dibaca hingga selesai.

Hasilnya tidak sia-sia. Sekali ini, saya berhasil. AMINEF memanggil saya untuk mengikuti wawancara di Jayapura. Dan akhirnya, saya berhak menyandang gelar “Fulbright Scholar” di tahun 2000. (Tidak terasa ternyata sudah 7 tahun berlalu!)

Semua hal tersebut seolah-olah saya rasakan kembali ketika beberapa waktu lalu saya dan teman-teman moderator milis beasiswa mendapat kesempatan untuk berbagi informasi dan cerita di salah satu universitas di Jakarta. Tapi kilas balik tersebut saya rasakan bukan karena seseorang menceritakan perjuangannya mencari beasiswa. Justru itu saya rasakan karena pertanyaan yang, bagi saya, nadanya sedikit pesimis dari salah seorang peserta acara seminar tersebut.

Pertanyaannya simpel,”Apakah dengan IPK saya yang hanya sedikit di atas 3,00 saya bisa mendapatkan beasiswa?”. Pertanyaan tersebut seolah-olah menggambarkan kalau dengan IPK yang pas-pasan tersebut, tidak ada lagi harapan bagi si penanya. Seolah-olah IPK adalah harga mati yang membuat seseorang tidak bisa (atau bisa) mendapatkan beasiswa. Cepat saya menjawab,”Saya juga IPK-nya segitu kok”. Ya, benar. Walaupun harus malu mengakuinya, IPK S1 saya cuma 3,0x (x nya isi sendiri). Kenyataannya, saya mendapatkan beasiswa tersebut. Kenyataannya, di tahun 2002 saya kembali ke Indonesia sebagai Fulbright Scholar dan ditambah embel-embel MBA.

Jawaban saya ternyata tidak memuaskan penanyanya. Sekali lagi dia maju dan berkomentar, “Mas Togap kan kerja di PT XXX. Jadi ya wajar dong kalau dapet beasiswa tersebut. PT XXX itu kan salah satu penyumbang untuk beasiswa itu!”. Oh well, memang benar saya saat itu tercatat sebagai karyawan di PT XXX. Juga benar, kalau saat itu PT XXX adalah salah satu penyumbang untuk beasiswa Fulbright. Tapi terus terang saja, sekalipun saya tidak pernah berpikir kalau itulah yang menjadi alasan saya mendapatkan beasiswa itu!

Komentar dan pertanyaan yang seperti ini terasa agak menyedihkan buat saya. Karena komentar dan pertanyaan itu lebih terasa menghakimi diri sendiri buat penanyanya daripada menginginkan diskusi. Saya merasa kalau penanyanya dengan menanyakan hal itu justru mencari justifikasi buat ketidakmampuannya untuk mendapatkan beasiswa. Bahkan sebelum dia mencoba, dia sudah berpikir dan “merasakan” kalau dia tidak akan mendapatkan beasiswa tersebut.

Kenyataannya, walaupun belum pernah melakukan survey, saya yakin ada banyak orang Indonesia yang berhasil mendapatkan beasiswa walaupun hanya dengan IPK yang cukupan. Bahkan di milis beasiswa, saya ingat pernah membaca cerita tentang seseorang yang mendapatkan beasiswa dengan IPK kepala 2 alias 2,xx! Isn’t it something?

Saya yakin semua ini hanyalah masalah mindset atawa cara pandang. Mindset-lah yang menentukan sikap seseorang terhadap sesuatu hal.

Dalam buku Mindset, Carol Dweck PhD menjelaskan bahwa di dunia ini terdapat dua tipe manusia. Tipe pertama, adalah orang-orang yang mempunyai mindset berkembang. Manusia dengan tipe ini melihat semua kesempatan sebagai proses untuk mengembangkan diri. Manusia tipe ini juga percaya bahwa mereka dapat mencapai segala sesuatu dengan memfokuskan usaha mereka untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Tipe kedua, adalah tipe mindset tetap. Manusia dengan tipe ini percaya bahwa kemampuan mereka adalah hasil dari bakat. Mereka percaya bahwa bakatlah yang membawa mereka pada keberhasilan. Karena yang diperlukan hanya bakat, yang nota bene dibawa dari lahir, mereka percaya bahwa usaha tidak diperlukan untuk mendapatkan pencapaian yang mereka inginkan. Dengan bakat yang mereka miliki, dengan sendirinya mereka akan memperoleh hasil. Tapi di sisi lain, tanpa bakat, mereka percaya mereka tidak mungkin mencapai hasil tertentu. Karena itu, orang-orang dengan mindset tetap percaya kalau mereka tidak perlu berusaha (make an effort). Bahkan, bagi mereka, usaha adalah sesuatu yang perlu dihindari. Karena semuanya datang karena bakat, tentu saja tidak ada pentingnya berusaha. Berusaha justru menunjukkan kalau seseorang tidak mempunyai bakat. Dan karenanya bagi mereka, orang yang melakukan sesuatu dengan usaha yang keras sesungguhnya adalah orang yang gagal.

Bagi manusia mindset tetap kegagalan adalah sesuatu yang harus dihindari. Berbeda dengan manusia mindset berkembang, yang menganggap kegagalan adalah satu pengalaman penting untuk belajar kembali. Dari satu kegagalan, kita harus belajar untuk keberhasilan di waktu yang lain. Menarik bahwa konsep neuro-linguistic programming (NLP) mempunyai satu asumsi awal (presupposition) yang sama. Yaitu bahwa kegagalan adalah suatu feedback. There is no failure, only feedback.

Cara pandang mindset berkembang ini memberikan kemerdekaan bagi penganutnya. Mereka merdeka dalam arti kegagalan tidak lagi membelenggu jiwa mereka. Kegagalan justru membebaskan, karena lewat kegagalan mereka memperoleh pembelajaran (learning). Dan, in the end, pembelajaran membawa keberhasilan.

Kembali ke masalah IPK dan beasiswa, bagi manusia dengan mindset berkembang, IPK hanyalah satu faktor dalam mendapatkan beasiswa. Buat mereka, jika IPK sudah keburu hancur, mereka akan mencari faktor lain yang akan menolong mereka mendapatkan beasiswa itu. Dalam salah satu email saya di milis beasiswa, saya pernah tuliskan bahwa selain IPK, banyak hal lain yang bisa memberikan nilai tambah dalam mendapatkan beasiswa. Misalnya, karir yang bagus seperti ditunjukkan dalam surat rekomendasi dari atasan. Keberhasilan lain dalam masyarakat juga bisa ditonjolkan dan menjadi faktor penentu dalam mendapatkan beasiswa. Buat yang senang riset, mungkin yang dilakukannya adalah mencari topik riset yang memberinya kesempatan lebih untuk mendapatkan beasiswa. Buannyakk lagi cara yang bisa dilakukan. Seorang anggota milis beasiswa pernah bercerita kalau dia berhasil memenangkan beasiswa di usahanya yang kelima setelah dia berpindah kerja dari sebuah perusahaan swasta ke LSM! Jadi banyak hal yang bisa dilakukan.

Untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri pun, bukan hanya lewat beasiswa. Member milis beasiswa, Lina, sukses melanjutkan kuliah di Jerman setelah selama setahun bekerja sebagai au-pair. Tugasnya mengawasi anak-anak keluarga tempatnya bekerja. Member yang lain sukses kuliah di Amerika Serikat dengan sistem kamikaze. Artinya, nyemplung dulu ke negara Paman Sam tersebut, dan kemudian berusaha mencari tambahan duit dan beasiswa di sana. (Ternyata beneran buuaanyyakk cara yang bisa dilakukan, kan?)

Perlu dicatat, bahwa orang dengan mindset tetap pun banyak yang memperoleh keberhasilan. John McEnroe, seorang petenis yang terkenal di tahun 80-an, adalah contoh manusia dengan mindset tetap. Tapi dengan segala keberhasilannya, John juga dikenal sebagai pemain tenis yang pemarah dan suka menyalahkan faktor lain di luar dirinya saat harus menerima kekalahan. Menurut Carol Dweck, John McEnroe is a very good example of a person with fixed mindset.

Pada akhirnya, menjadi seseorang dengan mindset tetap atau mindset berkembang (growth mindset) adalah perkara mau memilih yang mana. Anda yang telah mempunyai mindset berkembang, bersyukurlah. Selama Anda mau berusaha, kesuksesan bersama Anda. Sedangkan Anda yang mempunyai mindset tetap, ingatlah bahwa Anda mempunyai pilihan untuk menjadi seseorang yang ber-mindset berkembang. Selama Anda merasa nyaman dengan mindset tetap Anda, it’s fine. Tapi Anda tahu bahwa Anda selalu dapat berubah (dengan latihan) untuk menjadi manusia ber-mindset berkembang

DEMO DI KEDUBES MALAYSIA


Seribu pelaku kesenian reog hari ini demonstrasi di kedubes`Malaysia Jakarta, lebih dari 150 berasal dari kesenian reog SMK Negeri 2 Wonogiri. Hal ini dilakukan mengingat Malaysia semakin tidak bersahabat dengan kita. Kita juga perlu mawas diri agar kita tidak mudah dilecehkan secara global.